Sama halnya seperti pencipta lagu, penulis naskah dongeng atau
sandiwara radio, tidaklah dikenal sebagaimana penyanyi atau
pendongengnya. Sama halnya dengan Yayat Rukhiyat, atau akrab dipanggil
dengan Kang Yat. Saat dongeng radio “Si Rawing” meledak sekitar taun 80-an, orang hanya mengenal Wa Kepoh
sebagai pembawa cerita dongeng tersebut. Padahal di balik kesuksesan
para juru dongeng itu, terdapat tangan-tangan kreatif para penulis yang
kini hampir terlupakan. Tanpa bermaksud mengecilkan peran juru dongeng,
para penulis naskah dongeng memiliki peranan yang sangat penting dalam
menentukan kualitas dongeng yang digandrungi masyarakat.
Dari sekian banyak dongeng Sunda di radio, cerita yang sangat fenonemal adalah Sirod Djelema Gaib (Saputra, 1969) karya K. Soekarna, Si Buntung Djago Tutugan (Tjaringin, 1969) karya S. Sukandar, dan Si Rawing karya Yayat. R.
Dongeng Sunda Si Rawing yang dibawakan oleh Si Raja Dongeng Wa Kepoh (Drs. Ahmad Sutisna) membuat masyarakat lebih tergila-gila mendengarkan dongeng Sunda. Dongeng Si Rawing menceritakan tentang Darma yang kupingnya rawing karena terkena sabetan golok Bah Bewok, pada waktu gerombolan Bah Bewok menyerang kampung, tapi Darma diselamatkan oleh seorang kakek-kakek yang bernama Ki Debleng, yang kemudi an mengangkatnya sebagai muridnya hingga tumbuh menjadi pendekar tangguh. Kegandrungan masyarakat terhadap Si Rawing, menyedot perhatian produser film dari Jakarta, yang kemudian mengangkat dongeng Si Rawing ke film layar lebar, diproduksi oleh PT Kanta Indah Film. Adapun pemeran tokoh Si Rawing adalah aktor laga ternama Barry Prima. “Namun, sayang, tokoh Si Rawing versi layar lebar ini penokohannya berbeda dengan versi dongeng radio. Si Rawing versi radio dibawakan dengan ciri khas ngabodor, sedangkan film terlalu serius. Akhirnya, ekspektasi masyarakat juga berbeda, sehingga film tersebut agak kurang meledak sebagaimana versi dongeng radionya,” ujar Yayat, penulis naskah Si Rawing.
Perjalanan Karir Si Penulis Dongeng
Yat R, adalah nama yang kerap disebukan oleh Wa Kepoh sebelum memulai kisah Si Rawing. Nama lengkapnya adalah Yayat Rukhiyat, lahir di Bandung, 8 September 1954. Yayat R, anak sulung dari tujuh bersaudara. Sejak kecil, cita-citanya ingin menjadi ahli teknik. Pada mulanya memang tidak ada sedikit pun tersirat niat untuk menjadi penulis cerita. Ketika menyelesaikan SR (Sekolah Rakyat) pun, Yayat melanjutkan ke STN (Sekolah Teknik Negeri), dan selanjutnya ke STM (Sekolah Teknik Menengah) Grafika.
Namun, di tengah perjalanan mencapai cita-citanya, tiba-tiba Yayat tertarik untuk terjun ke dunia broadcasting. Sekitar tahun 1976, Yayat memulai kariernya sebagai penyiar di Radio Paksi, lalu berpindah ke Radio Volvo, dan Radio Mutiara. Yayat mengasuh acara dongeng sebagai juru dongeng. Ceritanya dikarang sendiri, tanpa ditulis terlebih dahulu. Yayat ngadongeng sekitar 15 judul, tanpa menggunakan naskah. Di antaranya dongeng Banjir Getih di Cimandi, Karaman Banjar Patroman, Si Koncleng, dan lain-lain.
Lama kelamaan, Yayat menjadi sadar akan pentingnya mendokumentasikan cerita, dengan cara menulis. Selanjutnya, Yayat mulai menulis naskah dongeng, dan memutuskan berhenti menjadi juru dongeng. Yayat menyadari bahwa dirinya lebih cocok menulis cerita dongeng daripada menjadi juru dongeng. Naskah Yayat mulai bergema di radio-radio melalui pendongeng sohor waktu itu, misalnya Aki Balangantrang. Karangan Yayat yang didongengkan oleh Aki Balangantrang berjudul Harta Karun di Basisir Kidul, tahun 1979.
Puluhan judul dongeng terlahir dari buah pikiran Yayat, baik yang ditulis maupun tidak sempat didokumentasikan. Di antaranya, Naratas Jalan Panjang (1980), Macan Kumbang Sakembaran (1981), Rebutan Mustika (1982), Tumbal Asmara (1983), Gandrung Kapahung (1984), Talaga Langkara (1985), Karaman Banjar Patroman (1986), Si Koncleng (1991), Si Bopeng (1992), Nang Ulung (1992), Jago Pangrango (1993), Macan Manglayang (1994), Jago Pamungkas (1995), Naga Runting (1996),Jabang Karang (1997), Ujang Bule (1998), Nyi Bentang (1991), Parawan Rawayan (2001), Sanca Bodas (2002), dan lain-lain.
Proses Kreatif Yayat
Membuat naskah cerita atau dongeng untuk sebuah sandiwara radio menurut Yayat, gampang-gampang susah. Yang susah adalah bagaimana membangun imajinasi dalam naskah bisa sampai ke pendengar. “Karena radio itu kan hanya suara, tidak seperti film atau sinetron,” ujarnya. Selain itu, agar cerita menarik, biasanya Yayat selalu memunculkan peran laki dan perempuan dalam setiap segmennya. Hal itu ditambah dengan kemampuan Sang Juru Dongeng saat membawakan cerita. “Waktu itu, Wa Kepoh sangat jago membawakan karakter tokoh dalam cerita Si Rawing dengan suara yang berbeda. Suara laki-laki dewasa, kakek-kakek, anak-anak, maupun perempuan, nenek-nenek, dibawakan dengan sangat menarik. Nah, dalam setiap segmennya, tokoh laki dan perempuan itu selalu saya munculkan berbarengan, sehingga pendengar selalu menunggu cerita Si Rawing ini tiap episodenya, karena tertarik dengan penokohannya dan kemampuan si Juru Dongeng,” kisah Yayat.
Kemampuan Yayat dalam mengolah cerita bukan tanpa sebab. Sejak kecil, Yayat sangat gemar membaca buku cerita, baik komik maupun novel, seperti kisah Mahabharata, Ramayana, atau cerita silat karya Asmaraman Kho Ping Ho. “Saya itu terbiasa kalau ngumpul dengan orang-orang tua, memperhatikan cerita dan kisah-kisah mereka, terutama kalau cerita-cerita soal ilmu kanuragan atau silat. Apalagi, hobi saya yang suka membaca cerita-cerita silat karya Kho Ping Ho, memberikan imajinasi dan bahan cerita dongeng,” kenang Yayat saat ditanyakan asal mula ide kreatifnya muncul.
Yayat pun mengisahkan saat-saat ia bersama Wa Kepoh membuat kisah Si Rawing. Bagaimana ia saat itu dikejar-kejar tenggat waktu untuk menulis naskah. “Setiap pagi, sekitar jam 6, tukang ojeg sudah menunggu di depan rumah untuk mengambil naskah yang sudah saya buat untuk diantarkan ke Wa Kepoh. Tiap hari saya harus menulis minimal 10 lembar naskah per episodenya. Istilah sekarang mah, kejar tayang lah…hahaha,” ujar Yayat.
Sampai hari ini, Yayat masih setia menulis naskah dongeng Sunda, di tengah merebaknya tontonan televisi dan film yang semakin semarak. Semangatnya tak pernah padam untuk tetap menulis menulis naskah dongeng. “Tidak dipungkiri, kehadiran televisi membuat radio dan khususnya sandiwara radio juga semakin ditinggalkan. Itu sebabnya, acara-acara sandiwara radio kini juga sudah tidak atau sulit ditemukan lagi,” ujar Yayat.
Yayat berharap agar para penulis naskah atau sandiwara radio juga mendapatkan apresiasi positif. “Saya mengharapkan adanya apresiasi positif dari pihak yang menjalin kerja sama ketika memakai jasa profesi penulis atau penyiar, bahwa secara profesionalisme penulis atau penyiar harus bernilai komersial yang memadai. Sementara ini, di daerah Bandung dan Jawa Barat, kecuali DKI Jakarta, profesi tersebut belum mendapatkan honor atau nilai komersial yang sepadan,” ungkapnya.
Dari sekian banyak dongeng Sunda di radio, cerita yang sangat fenonemal adalah Sirod Djelema Gaib (Saputra, 1969) karya K. Soekarna, Si Buntung Djago Tutugan (Tjaringin, 1969) karya S. Sukandar, dan Si Rawing karya Yayat. R.
Dongeng Sunda Si Rawing yang dibawakan oleh Si Raja Dongeng Wa Kepoh (Drs. Ahmad Sutisna) membuat masyarakat lebih tergila-gila mendengarkan dongeng Sunda. Dongeng Si Rawing menceritakan tentang Darma yang kupingnya rawing karena terkena sabetan golok Bah Bewok, pada waktu gerombolan Bah Bewok menyerang kampung, tapi Darma diselamatkan oleh seorang kakek-kakek yang bernama Ki Debleng, yang kemudi an mengangkatnya sebagai muridnya hingga tumbuh menjadi pendekar tangguh. Kegandrungan masyarakat terhadap Si Rawing, menyedot perhatian produser film dari Jakarta, yang kemudian mengangkat dongeng Si Rawing ke film layar lebar, diproduksi oleh PT Kanta Indah Film. Adapun pemeran tokoh Si Rawing adalah aktor laga ternama Barry Prima. “Namun, sayang, tokoh Si Rawing versi layar lebar ini penokohannya berbeda dengan versi dongeng radio. Si Rawing versi radio dibawakan dengan ciri khas ngabodor, sedangkan film terlalu serius. Akhirnya, ekspektasi masyarakat juga berbeda, sehingga film tersebut agak kurang meledak sebagaimana versi dongeng radionya,” ujar Yayat, penulis naskah Si Rawing.
Perjalanan Karir Si Penulis Dongeng
Yat R, adalah nama yang kerap disebukan oleh Wa Kepoh sebelum memulai kisah Si Rawing. Nama lengkapnya adalah Yayat Rukhiyat, lahir di Bandung, 8 September 1954. Yayat R, anak sulung dari tujuh bersaudara. Sejak kecil, cita-citanya ingin menjadi ahli teknik. Pada mulanya memang tidak ada sedikit pun tersirat niat untuk menjadi penulis cerita. Ketika menyelesaikan SR (Sekolah Rakyat) pun, Yayat melanjutkan ke STN (Sekolah Teknik Negeri), dan selanjutnya ke STM (Sekolah Teknik Menengah) Grafika.
Namun, di tengah perjalanan mencapai cita-citanya, tiba-tiba Yayat tertarik untuk terjun ke dunia broadcasting. Sekitar tahun 1976, Yayat memulai kariernya sebagai penyiar di Radio Paksi, lalu berpindah ke Radio Volvo, dan Radio Mutiara. Yayat mengasuh acara dongeng sebagai juru dongeng. Ceritanya dikarang sendiri, tanpa ditulis terlebih dahulu. Yayat ngadongeng sekitar 15 judul, tanpa menggunakan naskah. Di antaranya dongeng Banjir Getih di Cimandi, Karaman Banjar Patroman, Si Koncleng, dan lain-lain.
Lama kelamaan, Yayat menjadi sadar akan pentingnya mendokumentasikan cerita, dengan cara menulis. Selanjutnya, Yayat mulai menulis naskah dongeng, dan memutuskan berhenti menjadi juru dongeng. Yayat menyadari bahwa dirinya lebih cocok menulis cerita dongeng daripada menjadi juru dongeng. Naskah Yayat mulai bergema di radio-radio melalui pendongeng sohor waktu itu, misalnya Aki Balangantrang. Karangan Yayat yang didongengkan oleh Aki Balangantrang berjudul Harta Karun di Basisir Kidul, tahun 1979.
Puluhan judul dongeng terlahir dari buah pikiran Yayat, baik yang ditulis maupun tidak sempat didokumentasikan. Di antaranya, Naratas Jalan Panjang (1980), Macan Kumbang Sakembaran (1981), Rebutan Mustika (1982), Tumbal Asmara (1983), Gandrung Kapahung (1984), Talaga Langkara (1985), Karaman Banjar Patroman (1986), Si Koncleng (1991), Si Bopeng (1992), Nang Ulung (1992), Jago Pangrango (1993), Macan Manglayang (1994), Jago Pamungkas (1995), Naga Runting (1996),Jabang Karang (1997), Ujang Bule (1998), Nyi Bentang (1991), Parawan Rawayan (2001), Sanca Bodas (2002), dan lain-lain.
Proses Kreatif Yayat
Membuat naskah cerita atau dongeng untuk sebuah sandiwara radio menurut Yayat, gampang-gampang susah. Yang susah adalah bagaimana membangun imajinasi dalam naskah bisa sampai ke pendengar. “Karena radio itu kan hanya suara, tidak seperti film atau sinetron,” ujarnya. Selain itu, agar cerita menarik, biasanya Yayat selalu memunculkan peran laki dan perempuan dalam setiap segmennya. Hal itu ditambah dengan kemampuan Sang Juru Dongeng saat membawakan cerita. “Waktu itu, Wa Kepoh sangat jago membawakan karakter tokoh dalam cerita Si Rawing dengan suara yang berbeda. Suara laki-laki dewasa, kakek-kakek, anak-anak, maupun perempuan, nenek-nenek, dibawakan dengan sangat menarik. Nah, dalam setiap segmennya, tokoh laki dan perempuan itu selalu saya munculkan berbarengan, sehingga pendengar selalu menunggu cerita Si Rawing ini tiap episodenya, karena tertarik dengan penokohannya dan kemampuan si Juru Dongeng,” kisah Yayat.
Kemampuan Yayat dalam mengolah cerita bukan tanpa sebab. Sejak kecil, Yayat sangat gemar membaca buku cerita, baik komik maupun novel, seperti kisah Mahabharata, Ramayana, atau cerita silat karya Asmaraman Kho Ping Ho. “Saya itu terbiasa kalau ngumpul dengan orang-orang tua, memperhatikan cerita dan kisah-kisah mereka, terutama kalau cerita-cerita soal ilmu kanuragan atau silat. Apalagi, hobi saya yang suka membaca cerita-cerita silat karya Kho Ping Ho, memberikan imajinasi dan bahan cerita dongeng,” kenang Yayat saat ditanyakan asal mula ide kreatifnya muncul.
Yayat pun mengisahkan saat-saat ia bersama Wa Kepoh membuat kisah Si Rawing. Bagaimana ia saat itu dikejar-kejar tenggat waktu untuk menulis naskah. “Setiap pagi, sekitar jam 6, tukang ojeg sudah menunggu di depan rumah untuk mengambil naskah yang sudah saya buat untuk diantarkan ke Wa Kepoh. Tiap hari saya harus menulis minimal 10 lembar naskah per episodenya. Istilah sekarang mah, kejar tayang lah…hahaha,” ujar Yayat.
Sampai hari ini, Yayat masih setia menulis naskah dongeng Sunda, di tengah merebaknya tontonan televisi dan film yang semakin semarak. Semangatnya tak pernah padam untuk tetap menulis menulis naskah dongeng. “Tidak dipungkiri, kehadiran televisi membuat radio dan khususnya sandiwara radio juga semakin ditinggalkan. Itu sebabnya, acara-acara sandiwara radio kini juga sudah tidak atau sulit ditemukan lagi,” ujar Yayat.
Yayat berharap agar para penulis naskah atau sandiwara radio juga mendapatkan apresiasi positif. “Saya mengharapkan adanya apresiasi positif dari pihak yang menjalin kerja sama ketika memakai jasa profesi penulis atau penyiar, bahwa secara profesionalisme penulis atau penyiar harus bernilai komersial yang memadai. Sementara ini, di daerah Bandung dan Jawa Barat, kecuali DKI Jakarta, profesi tersebut belum mendapatkan honor atau nilai komersial yang sepadan,” ungkapnya.
Anugerah IKAPI Jabar Pesta Buku Bandung 2011
Komentar
Posting Komentar